Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat
tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu
untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya
dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31)
“wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam
yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu
Dawud].
Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian
yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai
penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun
macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam
berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus
dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak
demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain
penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui
apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak
boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan
menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke
ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis atau transparan, lalu Rasulullah Saw
berpaling seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila
telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini
dan ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak
menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi
Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian
yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid,
bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah
diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah
memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda
kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain
Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh
Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani,
2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu
tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada
isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak
kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau
bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang
sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu
kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita
untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga
tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
0 Response to "Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus"
Post a Comment