Pembahasan poin tadi adalah topik mengenai penutupan
aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula
dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang
menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu
dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus,
kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah
cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju
potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan
mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju
potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu
boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu
ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah,
menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram
(izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh
karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah
bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu
baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la)
yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada
dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun
binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al
Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab
diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang
menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah”
(pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju
terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang
digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah
mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah)
yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah,
seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga
menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja
yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang
baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju
pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini
(jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau
berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia
tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam
keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang
dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan,
karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena
firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”
(Qs. al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum,
adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju
shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak
memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya
meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar
Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan:
“Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala
seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak
mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu
petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah
menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas
wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan
menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a.
di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan
sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama
muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita
mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi
harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan:
“yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang
artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki).
Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan
hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu
Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung
pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka
mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis).
Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu
Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an)
dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47;
hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa
Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu
jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab
kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan
pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah
“[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit
tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan
(menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka
mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan
Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus
terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
0 Response to "Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum"
Post a Comment